Sabtu, 17 Januari 2009

Rahasia Berserah Diri Kepada Allah

> Berserah diri kepada Allah merupakan ciri khusus yang dimiliki orang-orang
> mukmin, yang memiliki keimanan yang mendalam, yang mampu melihat kekuasaan
> Allah, dan yang dekat dengan-Nya. Terdapat rahasia penting dan kenikmatan
> jika kita berserah diri kepada Allah. Berserah diri kepada Allah maknanya
> adalah menyandarkan dirinya dan takdirnya dengan sungguh-sungguh kepada
> Allah. Allah telah menciptakan semua makhluk, binatang, tumbuh-tumbuhan,
> maupun benda-benda tak bernyawa - masing-masing dengan tujuannya
> sendiri-sendiri dan takdirnya sendiri-sendiri. Matahari, bulan, lautan,
> danau, pohon, bunga, seekor semut kecil, sehelai daun yang jatuh, debu yang
> ada di bangku, batu yang menyebabkan kita tersandung, baju yang kita beli
> sepuluh tahun yang lalu, buah persik di lemari es, ibu anda, teman kepala
> sekolah anda, diri anda - pendek kata segala sesuatunya, takdirnya telah
> ditetapkan oleh Allah jutaan tahun yang lalu. Takdir segala sesuatu telah
> tersimpan dalam sebuah kitab yang dalam al-Qur'an disebut sebagai
> 'Lauhul-Mahfuzh'. Saat kematian, saat jatuhnya sebuah daun, saat buah persik
> dalam peti es membusuk, dan batu yang menyebabkan kita tersandung - pendek
> kata semua peristiwa, yang remeh maupun yang penting - semuanya tersimpan
> dalam kitab ini.
>
> Orang-orang yang beriman meyakini takdir ini dan mereka mengetahui bahwa
> takdir yang diciptakan oleh Allah adalah yang terbaik bagi mereka. Itulah
> sebabnya setiap detik dalam kehidupan mereka, mereka selalu berserah diri
> kepada Allah. Dengan kata lain, mereka mengetahui bahwa Allah menciptakan
> semua peristiwa ini sesuai dengan tujuan ilahiyah, dan terdapat kebaikan
> dalam apa saja yang diciptakan oleh Allah. Misalnya, terserang penyakit yang
> berbahaya, menghadapi musuh yang kejam, menghadapi tuduhan palsu padahal ia
> tidak bersalah, atau menghadapi peristiwa yang sangat mengerikan, semua ini
> tidak mengubah keimanan orang yang beriman, juga tidak menimbulkan rasa
> takut dalam hati mereka. Mereka menyambut dengan rela apa saja yang telah
> diciptakan Allah untuk mereka. Orang-orang beriman menghadapi dengan
> kegembiraan keadaan apa saja, keadaan yang pada umumnya bagi orang-orang
> kafir menyebabkan perasaan ngeri dan putus asa. Hal itu karena rencana yang
> paling mengerikan sekalipun, sesungguhnya telah direncanakan oleh Allah
> untuk menguji mereka. Orang-orang yang menghadapi semuanya ini dengan sabar
> dan bertawakal kepada Allah atas takdir yang telah Dia ciptakan, mereka akan
> dicintai dan diridhai Allah. Mereka akan memperoleh surga yang kekal abadi.
> Itulah sebabnya orang-orang yang beriman memperoleh kenikmatan, ketenangan,
> dan kegembiraan dalam kehidupan mereka karena bertawakal kepada Tuhan
> mereka. Inilah nikmat dan rahasia yang dijelaskan oleh Allah kepada
> orang-orang yang beriman. Allah menjelaskan dalam al-Qur'an bahwa Dia
> mencintai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya. (Q.s. Ali 'Imran: 159)
> Rasulullah saw. juga menyatakan hal ini, beliau bersabda:
>
>
> "Tidaklah beriman seorang hamba Allah hingga ia percaya kepada takdir yang
> baik dan buruk, dan mengetahui bahwa ia tidak dapat menolak apa saja yang
> menimpanya (baik dan buruk), dan ia tidak dapat terkena apa saja yang
> dijauhkan darinya (baik dan buruk)."1
>
> Masalah lainnya yang disebutkan dalam al-Qur'an tentang bertawakal kepada
> Allah adalah tentang "melakukan tindakan". Al-Qur'an memberitahukan kita
> tentang berbagai tindakan yang dapat dilakukan orang-orang yang beriman
> dalam berbagai keadaan. Dalam ayat-ayat lainnya, Allah juga menjelaskan
> rahasia bahwa tindakan-tindakan tersebut yang diterima sebagai ibadah kepada
> Allah, tidak dapat mengubah takdir. Nabi Ya'qub a.s. menasihati putranya
> agar melakukan beberapa tindakan ketika memasuki kota, tetapi setelah itu
> beliau diingatkan agar bertawakal kepada Allah. Inilah ayat yang
> membicarakan masalah tersebut:
>
> "Dan Ya'qub berkata, 'Hai anak-anakku, janganlah kamu masuk dari satu pintu
> gerbang, dan masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berlainan, namun
> demikian aku tidak dapat melepaskan kamu barang sedikit pun dari (takdir)
> Allah. Keputusan menetapkan (sesuatu) hanyalah hak Allah; kepada-Nyalah aku
> bertawakal dan hendaklah kepada-Nya saja orang-orang yang bertawakal
> berserah diri'." (Q.s. Yusuf: 67).
>
> Sebagaimana dapat dilihat pada ucapan Nabi Ya'qub, orang-orang yang beriman
> tentu saja juga mengambil tindakan berjaga-jaga, tetapi mereka mengetahui
> bahwa mereka tidak dapat mengubah takdir Allah yang dikehendaki untuk
> mereka. Misalnya, seseorang harus mengikuti aturan lalu lintas dan tidak
> mengemudi dengan sembarangan. Ini merupakan tindakan yang penting dan
> merupakan sebuah bentuk ibadah demi keselamatan diri sendiri dan orang lain.
> Namun, jika Allah menghendaki bahwa orang itu meninggal karena kecelakaan
> mobil, maka tidak ada tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah
> kematiannya. Terkadang tindakan pencegahan atau suatu perbuatan tampaknya
> dapat menghindari orang itu dari kematian. Atau mungkin seseorang dapat
> melakukan keputusan penting yang dapat mengubah jalan hidupnya, atau
> seseorang dapat sembuh dari penyakitnya yang mematikan dengan menunjukkan
> kekuatannya dan daya tahannya. Namun, semua peristiwa ini terjadi karena
> Allah telah menetapkan yang demikian itu. Sebagian orang salah menafsirkan
> peristiwa-peristiwa seperti itu sebagai "mengatasi takdir seseorang" atau
> "mengubah takdir seseorang". Tetapi, tak seorang pun, bahkan orang yang
> sangat kuat sekalipun di dunia ini yang dapat mengubah apa yang telah
> ditetapkan oleh Allah. Tak seorang manusia pun yang memiliki kekuatan
> seperti itu. Sebaliknya, setiap makhluk sangat lemah dibandingkan dengan
> ketetapan Allah. Adanya fakta bahwa sebagian orang tidak menerima kenyataan
> ini tetap tidak mengubah kebenaran. Sesungguhnya, orang yang menolak takdir
> juga telah ditetapkan demikian. Karena itulah orang-orang yang menghindari
> kematian atau penyakit, atau mengubah jalannya kehidupan, mereka mengalami
> peristiwa seperti ini karena Allah telah menetapkannya. Allah menceritakan
> hal ini dalam al-Qur'an sebagai berikut:
>
> "Tidak ada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada
> dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum
> Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah. Supaya
> kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu
> jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah
> tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri. (Q.s.
> al-Hadid: 22-3).
>
> Sebagaimana dinyatakan dalam ayat di atas, peristiwa apa pun yang terjadi
> telah ditetapkan sebelumnya dan tertulis dalam Lauh Mahfuzh. Untuk itulah
> Allah menyatakan kepada manusia supaya tidak berduka cita terhadap apa yang
> luput darinya. Misalnya, seseorang yang kehilangan semua harta bendanya
> dalam sebuah kebakaran atau mengalami kerugian dalam perdagangannya, semua
> ini memang sudah ditetapkan. Dengan demikian mustahil baginya untuk
> menghindari atau mencegah kejadian tersebut. Jadi tidak ada gunanya jika
> merasa berduka cita atas kehilangan tersebut. Allah menguji hamba-hamba-Nya
> dengan berbagai kejadian yang telah ditetapkan untuk mereka. Orang-orang
> yang bertawakal kepada Allah ketika mereka menghadapi peristiwa seperti itu,
> Allah akan ridha dan cinta kepadanya. Sebaliknya, orang-orang yang tidak
> bertawakal kepada Allah akan selalu mengalami kesulitan, keresahan,
> ketidakbahagiaan dalam kehidupan mereka di dunia ini, dan akan memperoleh
> azab yang kekal abadi di akhirat kelak. Dengan demikian sangat jelas bahwa
> bertawakal kepada Allah akan membuahkan keberuntungan dan ketenangan di
> dunia dan di akhirat. Dengan menyingkap rahasia-rahasia ini kepada
> orang-orang yang beriman, Allah membebaskan mereka dari berbagai kesulitan
> dan menjadikan ujian dalam kehidupan di dunia ini mudah bagi mereka.
>
>
> Ikhlas Tempat Persinggahan Iyyaka Na'budu Wa Iyyaka Nasta'in
>
> Posted on Desember 19th, 2006.
>
>
> Dalam kitab Madarijus Salikin, Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah menyebutkan
> tempat-tempat persinggahan Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in diantaranya
> adalah ikhlas. Berikut ini saya kutipkan beberapa penggal alenia yang
> tercantum dalam pasal ini. Bagi yang menginginkan uraian lebih lanjut saya
> persilahkan membaca langsung dari sumbernya. (ALS)
> ???????????????????????????
> Sehubungan dengan tempat persinggahan ikhlas ini Allah telah berfirman di
> dalam Al-Qur'an, (artinya):
> "Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
> memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus."
> (Al-Bayyinah: 5)
> "Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al-Qur'an) dengan (membawa)
> kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.
> Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)."
> (Az-Zumar: 2-3)
> "Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kalian, siapa di antara
> kalian yang lebih baik amalnya." (Al-Mulk: 2)
> Al-Fudhail berkata, "Maksud yang lebih baik amalnya dalam ayat ini adalah
> yang paling ikhlas dan paling benar."
> Orang-orang bertanya, "Wahai Abu Ali, apakah amal yang paling ikhlas dan
> paling benar itu ?"
>
>
> Dia menjawab, "Sesungguhnya jika amal itu ikhlas namun tidak benar, maka ia
> tidak diterima. Jika amal itu benar namun tidak ikhlas maka ia tidak akan
> diterima, hingga amal itu ikhlas dan benar. Yang ikhlas ialah yang
> dikerjakan karena Allah, dan yang benar ialah yang dikerjakan menurut
> As-Sunnah." Kemudian ia membaca ayat, (artinya): "Barangsiapa mengharap
> perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih
> dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada
> Rabbnya." (Al-Kahfi: 110)
>
> Allah juga berfirman, (artinya):
> "Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas
> menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan?"
> (An-Nisa': 125)
> Menyerahkan diri kepada Allah artinya memurnikan tujuan dan amal karena
> Allah. Sedangkan mengerjakan kebaikan ialah mengikuti Rasulullah
> Shallallahu Alaihi wa Sallam dan Sunnah beliau.
>
> Allah juga berfirman, (artinya):
> "Dan, Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal
> itu (bagaikan) debu yang beterbangan." (Al-Furqan: 23)
> Amal yang seperti debu itu adalah amal-amal yang dilandaskan bukan kepada
> As-Sunnah atau dimaksudkan bukan karena Allah. Nabi Shallallahu Alaihi wa
> Sallam pernah bersabda kepada Sa'ad bin Abi Waqqash, "Sesungguhnya
> sekali-kali engkau tidak akan dibiarkan, hingga engkau mengerjakan suatu
> amal untuk mencari Wajah Allah, melainkan engkau telah menambah kebaikan,
> derajad dan ketinggian karenanya."
>
> Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu, dia
> berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, (artinya):
> "Tiga perkara, yang hati orang mukmin tidak akan berkhianat jika ada
> padanya: Amal yang ikhlas karena Allah, menyampaikan nasihat kepada para
> waliyul-amri dan mengikuti jama'ah orang-orang Muslim karena doa mereka
> meliputi dari arah belakang mereka." (HR. At-Thirmidzi dan Ahmad)
>
> Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah ditanya tentang berperang
> karena riya', berperang karena keberanian dan berperang karena kesetiaan,
> manakah diantaranya yang ada di jalan Allah? Maka beliau menjawab, "Orang
> yang berperang agar kalimat Allah lah yang paling tinggi, maka dia berada di
> jalan Allah.
> Beliau juga mengabarkan tiga golongan orang yang pertama-tama diperintahkan
> untuk merasakan api neraka, yaitu qari' Al-Qur'an, mujahid dan orang yang
> menshadaqahkan hartanya; mereka melakukannya agar dikatakan, "Fulan adalah
> qari', fulan adalah pemberani, Fulan adalah orang yang bershadaqah", yang
> amal-amal mereka tidak ikhlas karena Allah.
>
> Di dalam hadits qudsi yang shahih disebutkan; "Allah berfirman, 'Aku adalah
> yang paling tidak membutuhkan persekutuan dari sekutu-sekutu yang ada.
> Barangsiapa mengerjakan suatu amal, yang di dalamnya ia menyekutukan
> selain-Ku, maka dia menjadi milik yang dia sekutukan, dan Aku terbebas
> darinya'." (HR. Muslim)
> Di dalam hadits lain disebutkan; "Allah berfirman pada hari kiamat,
> 'Pergilah lalu ambillah pahalamu dari orang yang amalanmu kamu tujukan. Kamu
> tidak mempunyai pahala di sisi Kami'."
>
> Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,
> beliau bersabda:
> "Sesungguhnya Allah tidak melihat tubuh kalian dan tidak pula rupa kalian,
> tetapi Dia melihat hati kalian." (HR. Muslim)
>
> Banyak difinisi yang diberikan kepada kata ikhlas dan shidq, namun tujuannya
> sama. Ada yang berpendapat, ikhlas artinya menyendirikan Allah sebagai
> tujuan dalam ketaatan. Ada yang berpendapat, ikhlas artinya membersihkan
> perbuatan dari perhatian manusia, termasuk pula diri sendiri. Sedangkan
> shidq artinya menjaga amal dari perhatian diri sendiri saja. Orang yang
> ikhlas tidak riya' dan orang yang shidq tidak ujub. Ikhlas tidak bisa
> sempurna kecuali shidq, dan shidq tidak bisa sempurna kecuali dengan
> ikhlas, dan keduanya tidak sempurna kecuali dengan sabar.
>
> Al-Fudhail berkata, "Meninggalkan amal karena manusia adalah riya',
> Mengerjakan amal karena manusia adalah syirik. Sedangkan ikhlas ialah jika
> Allah memberikan anugerah kepadamu untuk meninggalkan keduanya."
> Al-Junaid berkata, "Ikhlas merupakan rahasia antara Allah dan hamba, yang
> tidak diketahui kecuali oleh malaikat sehingga dia menulis-nya, tidak
> diketahui syetan sehingga dia merusaknya dan tidak pula diketahui hawa nafsu
> sehingga dia mencondongkannya."
> Yusuf bin Al-Husain berkata. "Sesuatu yang paling mulia di dunia adalah
> ikhlas. Berapa banyak aku mengenyahkan riya' dari hatiku, tapi seakan-akan
> ia tumbuh dalam rupa yang lain."
>
> Pengarang Manazilus-Sa'irin berkata, "Ikhlas artinya membersihkan amal dari
> segala campuran." Dengan kata lain, amal itu tidak dicampuri sesuatu yang
> mengotorinya karena kehendak-kehendak nafsu, entah karena ingin
> memperlihatkan amal itu tampak indah di mata orang-orang, mencari pujian,
> tidak ingin dicela, mencari pengagungan dan sanjungan, karena ingin
> mendapatkan harta dari mereka atau pun alasan-alasan lain yang berupa cela
> dan cacat, yang secara keseluruhan dapat disatukan sebagai kehendak untuk
> selain Allah, apa pun dan siapa pun."
>
> Dipetik dari: Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, "Madarijus-Salikin Manazili Iyyaka
> Na'budu wa Iyyaka Nasta'in, Edisi Indonesia: Madarijus Salikin Pendakian
> Menuju Allah." Penerjemah Kathur Suhardi, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta Timur,
> Cet. I, 1998, hal. 175 - 178
>
>
>
>
> Lalu apakah ukuranya ?
>
> Memakai gr, kg, ton, kah ? <>
>
> Memakai mm, cm, m, km kah ? <>
>
> Apakah dengan Angka, Berapa banyak ? 1, 2 ,3 sampai 9, Bukan kah angka ini
> yg tertinggi ? <>
>
> Teryata kita ini dalam keadaan 0. dan harus melewati ke 1, ke 2 dan
> seterusnya .
>
> Dan mungkin ini yg harus kita ingat tiap hari .
>
>
>
> mohon ma'af banyak salah.
>

Tidak ada komentar: